Hidup Lagi
Hidup Lagi
by Melani Hidayati
(Diary yang ingin kuceritakan tahun 2017 silam)
Hari itu hujan
lebat, berbalutkan seragam coklat aku duduk terpaku mengelana dalam fatamorgana
dalam otakku.
Dila yang perawakannya mungil
itu duduk bersamaku, rona matanya bersinar menyala mengikuti ceritanya yang
semakin membara, dia sahabatku, hujan membuatnya ingin mengungkapkan seluruh
isi hatinya.
"Aneh ya Mel"
katanya tiba-tiba.
"Apa? Apa yang aneh?" jawabku penuh tanda tanya.
"Kalau aku lihat wajahmu sekarang aku ingat lagi dengan wajahmu saat itu,
kepalamu segini" dia mengepalkan tangannya, mengingatkanku akan peristiwa
mencekam dua bulan lalu.
"Eh kok
bisa? Kan sekarang aku udah cantik lagi, paling tinggal bekas-bekas dikit"
aku angkat daguku, bukan menyombongkan, namun masih tergurat bekas jahitan
benang putih yang tak diambil di daguku. Ada yang mengganjal seakan ada benda
lain ketika kuraba, sengaja kuperlihatkan agar dia penasaran, seakan memberi
tanda, dia mengoleskan jarinya ke daguku.
"Nggak
sakit Mel?"
pertanyaan yang sangat sering kudengar, dan menjadi tantangan buatku untuk
menjawabnya dengan kalimat yang bervariasi. "Nggak tuh, malah geli-geli
gimanaa gitu, kayak ada cacing di dalamnya gitu".
"Aku kalau
lihat kehidupan kamu tuh Mel kayak yang di
film-film gitu."
"Hah? Kok
bisa?" Lucu sekali, dari dulu aku si penggemar drama, komik, novel, ini
selalu menghayalkan dunia seperti di film, dan kata Dila,
aku telah mengalaminya? Apa maksudnya, karena menurutku kehidupanku
begitu-begitu saja, bahkan pangeran berkuda putih itu belum menjemputku walau
di dalam mimpiku sekali pun.
"Coba
bayangin deh Mel, kamu yang dulunya super cuek tingkat dewa, sekarang jadi supel
banget, dan pede kek gini. Terus ya.. waktu kamu kesrempet bis waktu itu, kamu
tahu apa yang ada dibayanganku sama Riska? Kami pikir kamu bakal gegar otak, 'Melani kan pinter kalau dia gegar otak gimana?' Dan sekarang lihat
keadaanmu? Beda jauh sama waktu di rumah sakit dulu Mel!".
Geli aku
mendengarnya, mengingat dulu seragam putihku menjadi merah karena darah yang
mengucur dari mukaku, gigiku pun tanggal tiga, rokku koyak diamuk garangnya
cakaran aspal jalan.
Aku bersyukur kala itu aku kehilangan kesadaran, tak dapat
kubayangkan bagaimana jika, aku mengingatnya? Mengingat bagaimana rasanya
benturan itu, rasa bagaimana tiga gigi seri atas terbentur hingga hancur entah kemana,
kemudian aku digotong oleh orang yang samar mukanya, dan aku melihat Dila menangis menatapku dengan pilu, sedang temanku yang lain, hatinya kelu tak
dapat melihat luka yang mengguyur nasibku.
"Ahahaha
kayak film? Kok nggak ada romance nya?" Dia hanya tertawa, memang benar,
belum ada romance dalam hidupku, kalaupun iya hanya aku tokohnya, tokoh yang
mencintai seseorang dalam diam, memandangnya dari jauh, menikmati jatuh cinta
sendirian.
Aku kembali termenung
lagi, alhamdulillah aku masih hidup, kelas tiga sudah hampir usai, nggak tahu apa aku mampu bersekolah di universitas impianku? Akankah aku mampu bertahan nantinya? Waktu yang Allah amanahkan, akankah bisa kujalani dengan sebaik-baiknya? Kesempatan hidup lagi ini, aku harap tidak aku sia-siakan.
Eh, sebenarnya tanggal tiga itu nggak seutuhnya kok, rampal sedikit
gitu, makanya sekarang ditambal. Waktu itu kali pertama aku pingsan deh kayaknya,
amit-amit deh jangan lagi, kalau aku nggak pingsan waktu kecelakaan,
gimana coba rasanya.
Waktu di rumah sakit, aku paling benci sama
alkohol, tiap pagi dan sore luka aku tuh dibersihkan, gila rasanya perih
banget, suster A ngurusin dengkul, suster B ngurusin janggut, suster C ngurusin
kaki, perih banget, kalau pernah nonton film terus ada adegan dikerubung pas
operasi, udah kayak gitu deh pokoknya, cuma bedanya aku nggak luka
dalam, syukur banget pokoknya, dari kejadian itu, ada banyak hal yang
kupelajari, khususnya, aku nggak kebut-kebutan lagi waktu menyetir,
dan.. untung dulu aku pakai helm. Nggak tahu deh kalau enggak.
Komentar
Posting Komentar