Back to 90, Berguling-Guling Menuruni Bukit
Senin, 24
Desember 2018 by Melani Hidayati
Jadi Ini Toh Rasanya Diklat?
Tanpa Ponsel, dan lampu Barak yang sempat mati total, membuatku berandai-andai, kalau aku sedang terbang ke masa lalu. Jujur, aku akui baru kali ini aku mengikuti kegiatan yang dinamakan diklat, setelah sekian tahun bersekolah dulunya aku selalu apatis, sekolah pulang, sekolah pulang, begitu lah seterusnya hingga jajan yang dulunya berharga 100 rupiah berubah menjadi 1000 rupiah dengan porsi yang sama dan kemasan berbeda, lah apa hubungannya? Nggak ada hehe.
Sabtu, dan Minggu lalu, aku bersama organisasi yang aku
ikuti (semacam OSIS, atau Dewan Ambalan kalau SMA, enggak mau sebut merek ya), menjalani pelatihan di sebuah pelatihan oleh Angkatan Darat di Gunung
Bundar, Bogor. Dingin, itu kesan pertama yang aku dapatkan dari sana, kami
sampai di sana pada sore hari, disuruh ganti baju, lantas merayap guling-guling
di tanah yang agak becek, tersiksa? Enggak, aku merasa itu sangat seru, tapi bo’ong,
eh enggak ding.
Karena rekan kami sebelumnya telah berangkat lebih pagi,
daripada kami dan telah mendapatkan petualangan yang lebih dari yang telah kami
alami, maka sebagai gantinya kami harus sama-sama lelah. “Jongkok!”, “Berdiri!”, “Jongkok!”, “Duduk!”, “Berguling!”,
“Cepat!”, sudah terlambat untuk meragu, pikirku, padahal di depan gerbang jelas
nyata tertulis “Jika kau ragu-ragu, lebih baik kau kembali.” Iya, aku mulai
ragu dan ingin rasanya segera pergi, tapi tak apa ini masih belum apa-apa,
hanya hal remeh dibanding dengan pelatihan militer yang sebenarnya, masih level
1 dari 100, mungkin.
Perintah-perintah tanpa pemanasan tersebut diakhiri dengan
kami harus menaruh barang di kamar kami, kamar darimananya, “barak” terdengar
lebih nyata, jangan bayangkan kasur empuk dengan selimut di sebuah villa dengan
segala kenyamanannya, kasur kami dari kayu, tidak ada selimut, kecuali kamu
membawa selimut dari rumah, wkwk.
Harus cepat, kami segera menuruni tangga yang tingginya
lumayan. Masalah besar, pikirku, aku nggak bawa ganti bawahan, hanya
satu celana training dan satu rok hitam, dan aku merasa bahwa kami akan
main-main dalam air, sudah pasti kolam dingin itu seakan menyapa hai, ingin
kami masuki, “ogaaaaaaaaah, aku gabwa ganti, airnya dingin bangeeeeeeeeet,
mama aku ingin pulaaang” teriakku kencang, kencang banget, tapi hanya aku
dan Tuhan yang mampu mendengar teriakan itu, teman-temanku mungkin hanya bisa
melihat wajah ke-ogah-an ku terhadap air kolam. Dan ketakutan yang aku
bayangkan itu terwujud nyata, iya, kami harus nyemplung, berasa masuk
air es, dingin banget, padahal cuma sejenak.
Ketakutan terbesarku akhirnya terpecahkan, aku dapat
pinjaman dari teman, “ah, syukurlah...”. Malam yang dingin itu pun tiba, kami makan
malam bersama, kotak makan di depan kami haruslah rapi, kalau belum rapi,
siap-siap saja menahan lapar sampai rapi. Kelar makan malam kami
disambut oleh misi, berpetualang dalam hutan, eh lebih mirip semak sih
menurutku, belum bisa disebut hutan, karena memang kami tidak di design sekeras
itu pelatihannya. Ada misi, kami dibagi menjadi beberapa kelompok, dengan satu
kelompok terdiri atas 4-5 orang, aku kebetulan duduk di depan, ditunjuk menjadi
ketua kelompok satu, TIDAK ADA YANG BAWA senter, gawat, harus bagaimana ini,
tanpa panik, karena kami adalah tim yang dididik untuk jangan mudah panik, di
atas ada rembulan yang tersenyum lebar nan hangat menemani perjalanan kami.
Jujur, itu malam terindah, baru kali itu aku jalan-jalan di
semak-semak, jalan menanjak, menyusuri jejak tali rafiah bersama teman-teman
yang lain, sungguh, tanpa bantuan alat bantu apapun, malam itu sangat indah,
aku bisa melihat pemukiman di seberang sana dengan lampunya yang kelap-kelip,
nampaknya juga ada acara nikahan malam itu, sepanjang malam aku mendengar lagu
dangdut dari seberang, kearifan lokal memang.
Sampai ke post terakhir, aku berbaring di atas jalan,
menghirup napas lega, memandangi sang langit, ini bukan kiasan, langit malam
itu benar-benar indah, sekilas aku terbayang akan orang yang enggak ada di
sana, tentang apa yang dia lakukan, haha, hanya sekilas. Misi terakhir malam
itu adalah mengambil slayer yang ada logo organisasi kami (semacam osis, atau
dewan ambalan kalau SMA), jangan berjalan, badan harus menyentuh jalan, “hah?”
Lantas, harus bagaimana? Awalnya kami ngesot, kadang juga merangkak, eh
kami disuruh mengulang, badan harus menyentuh jalan seutuhnya, “What? Nani?”
Aku enggak suka merayap, untuk jalan miring yang seperti itu, berguling
adalah pilihan paling tepat bagiku, dan, kami pun berguling, seru kataku, bukan
pembohongan atau istilah keren lain seperti “membohongi diri sendiri, agar
tidak merasa disiksa” aku memang benar-benar menikmati guling-guling di jalan
pada malam itu, sambil mencari di mana lokasi “slayer” kami, tapi ternyata eh
ternyata, slayer berada di jalan raya agak jauh yang tersebar terlihat jelas,
aku sempat merasa sia-sia telah mencari ke sela-sela semak-semak rerumputan,
ternyata malah tergeletak jelas di sana.
Pencarian slayer itu pun berakhir indah, walau kepalaku agak
pusing setelah mengguling-guling dengan rianya bak galon yang biasa aku
gulingkan dari tempat beli menuju kamar, malamnya aku sudah tak dapat menahan
kantuk lagi, kami gladi untuk acara besok pagi.
Jam tiga, diketuk lah pintu kamar kami, acara api unggun
telah menanti. Setengah tidur aku di sana, sebuah masalah bagiku, yang entah
mengapa gampang banget ketiduran disegala kondisi, barang kali ada yang punya
solusi, bisa lah coret-coret komentar dan saling berbagi. Dengan khidmat kami
menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, dilanjutkan dengan mencium Sang Bendera
Merah Putih, acara diakhiri dengan pengucapkan janji akan komitmen kami
kedepannya.
Dingin, parah, di posisi yang harusnya siap, aku malah
memasukkan tanganku ke dalam saku, bukan setengah tidur lagi, tapi dua per tiga
ngantuk, tapi alhamdulillah acara dapat berjalan dengan sangat lancar. Aku pikir,
dibeberapa acara aku melakukannya sambil tertidur, tapi tak apa, toh hanya aku
dan Tuhan yang tahu mungkin.
Mulai dari basah-basah menyelamatkan diri dalam air, hingga
pada momen menyelamatkan diri dari api, akhirnya acara pun berakhir dengan
acara penutupan yang dimeriahkan dengan pemberian bingkisan kepada peserta
diklat terbaik, yang jelas bukan aku yang dapet bingkisan itu. Dan diakhir
acara, apalagi kalau bukan pulang, kami diantarkan menuju Kampus IPB dengan
mobil TNI, hujan menjadi penutup petualangan kami, sayangnya aku duduk di
dalam, dan kurang bisa menikmati indahnya Gunung Bundar dengan pohon-pohon yang
melambai-lambai basah karena hujan. Sempat terlihat olehku kala menitip bagian
belakang, banner Curug ini itu, ada banyak, lain kali aku akan kemari
lagi. Insyaallah, pasti.
Komentar
Posting Komentar